Kamis, 13 Oktober 2011

ASMA BRONCHIALIS (KMB)

LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONCHIAL
A. Definisi
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society).
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
a. Faktor predisposisi
1. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahuibagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
  • Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. ex: Debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
  • Ingestan, yang masuk melalui mulut. ex: Makanan dan obat-obatan.
  • Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. ex: Perhiasan, logam dan jam tangan.
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5. Olah raga/aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
a. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
b. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih dari dari yang berikut:
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan nafas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
3. Pengisian bronki dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tapi yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom. Namun penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara.
Beberapa individu dengan asma mengalami respons imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antegen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dan substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik, terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator komiawi dan kontraksi otot polos.
Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
E. Diagnosa Asma
Dalam mendeteksi penyakit asma, diagnosa yang tepat sangatlah penting. Jika asma didiagnosa secara tepat, penyakit ini bisa ditangani dengan semestinya. Untuk mendiagnosa asma biasanya ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memperoleh sejarah medik yang terperinci
Cara ini menyangkut sejarah asma dalam keluarga, yang meliputi alergi dan eksema. Anak-anak yang dalam pohon keluarganya terdapat sanak saudara atau orang tua penderita asma dan alergi akan lebih besar kemungkinannya menderita penyakit tersebut.
Sejarah kesehatan penderita asma sendiri termasuk:
  • Saat ketika dia atau orang tuanya mendeteksi bahwa dirinya mulai menderita masalah pernafasan, sejarah adanya hidung mampet (rhinitis), mata bengkak dan gatal (allergic conjunctivitis) dan eksema. Pokoknya keluhan-keluhan umum yang menyertai asma.
  • Sejarah batuk kambuhan bandel yang menyertai masuk angin/flu. Flu yang berulang-ulang, radang tenggorokan, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, hambatan berolahraga karena masalah pernafasan, sering terbangun di malam hari dengan gejala-gejala asma.
  • Frekuensi mangkir sekolah atau kantor, frekuensi kunjungan ke unit gawat darurat dan keharusan dirawat di rumah sakit.
  • Sejarah perubahan lingkungan hidup.
2. Pemeriksaan fisik
Misalnya pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop atau pemeriksaan saluran hidung dan sebagainya.
3. X-Ray dada
Biasanya dilakukan juga untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan pernafasan lain yang bukan dikarenakan asma.
4. Tes darah dan tes dahak (sputum)
5. Tes alergi cucuk kulit
Tes ini bertujuan untuk memastikan ada tidaknya alergi.
6. Tes peak flow meter (spirometri)
Tes pernafasan yang mengukur volume tingkat arus udara yang bisa melewati saluran pernafasan. Jika saluran pernafasan menyempit karena peradangan , udara akan lebih sulit melewati saluran pernafasan. Akibatnya adalah perubahan pada nilai ukur Peak Flow Meter. Untuk anak di dawah usia lima tahun, tes ini sulit dilaksanakan karena dibutuhkan usaha dan kerjasama yang baik. Tetapi cara ini merupakan metode diagnosis yang sangat bisa diandalkan.
7. Tes ketahanan
Tes ketahanan olahraga dan tes menghirup metakolin adalah prosedur yang paling sering dilakukan dalam laboratorium klinis untuk mengevaluasi kepekaan saluran pernafasan.
8. Diagnosa diferensial
Berbagai penyebab lain yang mungkin mengakibatkan sesak nafas adalah nafas pendek, nafas bunyi dan batuk harus diperiksa untuk membedakan asma dari penyakit jantung, kelainan paru-paru yang lain, gastroesophangeal reflux, dan sebagainya.
9. Percobaan menggunakan obat-obatan untuk asma
Jika penggunaan obat-obatan asma menunjukkan perbaikan pada gejala-gejala yang dialami, hal ini lebih mendukung pada diagnosa adanya asma.
F. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
Tiga gejala yang umumnya tejadi pada pada penderita asma adalah batuk, dispnea, dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma sering kali terjadi pada malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan nafas.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernafasan lambat , mengi, laborius. Ekspirasi selalu lebih panjang dan susah dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori pernafsan. Jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk pada awalnya susah dan kering tetapi segera menjadi lebih kuat. Sputum, yang terdiri atas sedikit mukus yang mengandung masa gelatinosa bilat, kecil yang dibatukkan dengan susah payah. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat, dan gejala-gejala retensi karbon dioksida, termasuk berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan nadi.
Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan. Meski serangan asma jarang yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinue yang lebih berat, yang disebut dengan status asmatikus. Kondisi ini merupakan keadaan yang mengancam hidup.
Kemungkinan reaksi alergik lainnya yang dapat menyertai asma termasuk ekzema, ruam dan edema temporer. Serangan asmatik dapat terjadi secara periodik setelah pemajanan terhadap alergen spesifik, obat-obat tertentu, latihan fisik, dan kegairahan emosional.
G. Status Asmatikus
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergik, dan iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Episode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
Karakteristik dasar dari asma (kontriksi otot polos bronkial, pembengkakan mukosa bronkial, dan pengentalan sekresi) mengurangi diameter bronkial dan nyata pada ststus asmatikus. Abnormalitas ventilasi-perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respirasi asidosis.
Terdapat penuruna PaCO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.
Manifestasi dari status asmatikus adalah sama dengan manifestasi yang terdapat pada asma hebat-pernafasan labored, perpanjangan ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan serangan. Dengan makin bearnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi pertanda bahaya gagal pernafasan.
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan nafas akut. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan manuver fungsi pernafasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis (CO2 rendah) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik. Peningkatan PCO2 (ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal nafas.
Dalam lingkungan kedaruratan, pasien mula-mula diobati dengan agonis beta (metaproterenol, terbutalin, dan albuterol) dan kortikosteroid. Pasien mungkin juga membutuhkan oksigensuplemental dan cairan intravena untuk hidrasi.
Terapi oksigen dilakukan untuk mengatasi dispnea, sianosis, dan hipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran iksigen yang diberikan didasarkan pada nilai-nilai gas darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedatif merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah (respirasi asidosis), mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan membutuhkan ventilasi mekanis., adalah kriteria lain yang menandakan kebutuhan akan perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal nafas atau pada mereka yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernafas atau mereka yang kondisinya tidak berespons terhadap pengobatan awal.
Tanda-tanda dehidrasi diidentifikasi dengan memeriksa turgor kulit. Masukan cairan penting untuk melawan dehidrasi., mengencerkan sekresi, dan memudahkan ekspektorasi. Cairan intavena diberikan sesuai dengan yang diharuskan, hingga 3 sampai 4 L/hari, kecuali bila ada kontraindikasi.
Pemantauan terhadap pasien oleh perawat secara terus menerus, penting dilakukan dalam 12 sampai 24 jam pertama, atau sampai status asmatikus dapat diatasi. Energi pasien harus dihemat dan ruangan harus tenang serta bebas dari iritan pernafasan, termasuk bunga, asap tembakau, parfum, atau bau bahan pembersih. Bantal nonalergik harus digunakan.
Mendidik pasien merupakan bagian penting dari perawatan jika kekambuhan dan perawatan ulang dipertahankan minimal. Pasien diinstruksikan untuk dengan segera melaporkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang menyulitkan, seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut, tidak mendapatkan peredaan komplit dari penggunaan inhaler, atau mengalami infeksi pernafasan. Bronkodilator mungkin diperlukan sepanjang waktu. Obat-obat tertentu (teofilin dan kortikosteroid) dapat ditambah atau dinaikkan dosisnya ketika terjadi serangan asmatik. Hidrasi adekuat harus dipertahankan di rumah untuk menjaga sekresi agar tidak mengental. Pasien harus diingatkan bahwa infeksi harus dihindari karena infeksi dapat menjadi pencetus serangan.
Aktifitas perawatan diri tertentu meningkatkan penggagalan serangan hebat dan memberikan suatu kemandirian bagi pasien. Jika diresepkan teofilin oral kerja lama, instrukti yang cermat diberikan tentang bahaya penggunaan yang berlebihan. Adrenergik β2-selektif, seperti metaproterenol atau albuterol, mungkin juga diresepkan untuk pemberian-mandiri dengan inhaler genggam dosis terukur. Bila bronkodilator ini tidak berhasil, kortikosteroid (kerja cepat, dosis besar), biasanya prednison, diresepkan. Instruksi tentang penggunaan obat-obat ini juga diberikan dan pasien disarankan untuk mencari perawatan tindak lanjut sesuai kebutuhan.
H. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
  • Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinipil.
  • Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
  • Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
  • Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
  • Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
  • Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
  • Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
  • Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.


I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
  • Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
  • Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
  • Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paruDapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
  • Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu:
  • Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
  • Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB ( Right bundle branch block).
  • Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru
5. Spirometri
            Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
J. Diagnosa Banding
1. Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita >35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
3. Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
4. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
K. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
  • Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
  • Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma.
  • Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
1. Pengobatan Non Farmakologik
  • Memberikan penyuluhan.
  • Menghindari faktor pencetus.
  • Pemberian cairan.
  • Fisiotherapy.
  • Beri O2 bila perlu.
2. Pengobatan Farmakologik
a. Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
  1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
Orsiprenalin (Alupent).
  • Fenoterol (berotec).
  • Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
      2. Santin (teofilin)
Nama obat :
  • Aminofilin (Amicam supp).
  • Aminofilin (Euphilin Retard).
  • Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian: Bentuk suntikan teofillin/aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
b. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak.
Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
c. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral.
L. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.



ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang lalu
  • Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
  • Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/faktor lingkungan.
  • Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
  • Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
  • Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
  • Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
  • Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
  • Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
  • Adanya bunyi napas mengi.
  • Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
  • Adanya peningkatan tekanan darah.
  • Adanya peningkatan frekuensi jantung.
  • Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
  • Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
  • Ansietas
  • Ketakutan
  • Peka rangsangan
  • Gelisah
6. Asupan nutrisi
  • Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
  • Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosial
  • Keterbatasan mobilitas fisik.
  • Susah bicara atau bicara terbata-bata.
  • Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
  • Penurunan libido


B. Diagnosa Keperawatan
  1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
  2. Malnutrisi b/d anoreksia.
  3. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus).
  4. Risiko tinggi terhadap infeksi b/d imunitas yang tidak adekuat.
  5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi; salah mengerti.


C. Intervensi, Rasional, dan Kriteria Hasil
Dx. Kep 1: Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Intervensi :
  • Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi.
  • Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
  • Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
  • Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh: meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur
  • Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll.
  • Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.
  • Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi bronkodilator .
Rasional :
  • Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
  • Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
  • Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
  • Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
  • Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
  • Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
  • Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.
Kriteria Hasil: Klien mampu mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas.

Dx. Kep2: Malnutrisi b/d anoreksia
Intervensi :
  • Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
  • Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
  • Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
Rasional:
  • Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
  • Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
  • Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.
Kriteria Hasil: Klien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.

Dx. Kep 3: Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus).
Intervensi:
  • Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
  • Palpasi fremitus
  • Awasi tanda vital dan irama jantung
  • Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.
Rasional:
  • Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasi kan beratnya hipoksemia.
  • Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
  • Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
  • Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
Kriteria Hasil: Adanya perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.

Dx. Kep 4: Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Intervensi:
  • Awasi suhu.
  • Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat.
  • Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram, kultur/sensitifitas (kolaborasi).
Rasional:
  • Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
  • Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
  • Untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial.
Kriteria Hasil:
  • Teridentifikasinya intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
  • Adanya Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.

Dx. Kep 5: Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.
Intervensi:
  • Jelaskan tentang penyakit individu.
  • Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
  • Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler.
Rasional:
  • Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.
  • Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.
  • Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.
Kriteria Hasil: Klien menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.



Daftar Pustaka

Price, Sylvia A, Patofisiologi. EGC. Jakarta, 2006.
Vitahealth, Asma, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Smeltzer, Suzanne C, Keperawatan Medikal-Bedah, EGC. Jakarta, 2002.
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf
http://dokterthesa.wordpress.com/category/asma-bronkial/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar